Bagaimana kita mempelajari sesuatu?
Bagaimana kita tahu makan harus
dengan urutan seperti itu?
Bagaimana tubuh kita bisa
mengingat apa apa yang harus dilakukan saat akan melakukan sesuatu?
Repetition. Penguluangan. Yang kemudian
akan terekam oleh memori kita, dan selanjutnya akan diingat oleh tubuh kita. Aku
pernah baca sebuah penelitian bahwa tubuh kita hanya butuh 40 hari untuk mengingat suatu pola dan akan
menjadikannya suatu kebiasaan. Misal, paksa tubuh untuk bangun pagi di jam
tertentu selama 40 hari, dan hari ke 41, tanpa bantuan alarm, tubuh akan
otomatis mengingat siklus di 40 hari terakhir dan akan membiasakan untuk bangun
di jam tersebut. Keren kan. Nggak juga ya. Oke kita lanjut.
40 hari cukup untuk memaksa tubuh
melakukan siklus tertentu. Apa yang terjadi jika repetition tersebut dilakukan selama waktu yang lebih
jauh. Katakanlah 300 tahun. Maka akan ada kurang lebih 109.500 hari. Yang akan berarti juga akan ada kurang lebih 2.628.000 jam. tensu saja akan ada
kurang lebih 157.680.000 menit. Dan akan ada sekitar 9.460.800.000 detik. Banyak kan?
Gak hanya tubuh yang kan
mengingat pola dalam waktu sebanyak itu, tapi juga pola pikir. Ide. Dan saat kita
sudah mempunyai pola pikir tertentu dan kemudian dibebaskan, apa yang terjadi? Kalo
manusia normal pasti akan berpegang dengan apa yang mereka punya. Manusia gak akan seiseng petani yang kemudian menjajah wilayah lain jika yang dibutuhkan hanya bertahan hidup.
Lebih simple lagi, kita dijajah
oleh bangsa lain udah lebih dari 300 tahun (bener gak sih), dan kemudian kita
merdeka. Dan kurang lebih begitulah keadaan sekarang. Apa si dijajah? Sesimple
kita gak bisa hidup sendiri, biasa ngikut orang. Dan alam bawah sadar kita
sudah men-setting otomatis kalo sudah bisa ngikut orang pasti baik-baik saja. Ya,
hanya sebatas baik-baik saja, kita tidak terlatih untuk sukses cuy.
Dan saat kita sudah merdeka
(read. Semacam merdeka) kita masih menganggap posisi aman kita saat bisa
ngikut orang.
Masih terlihat banyak terlihat
tercecer disana-sini mind set pencapaian tertinggi manusia indonesia, pada
umumnya di kacamata gue, adalah menikah. Bukan kontribusyen kita ke negara,
bukan mempunyai karya yang bisa menopang diri kita sendiri, semak-nyosh apapun
karya atau kontribusyen anda tapi anda belum menikah pastilah belum dibilang sukses. Bisa dibayangkan bagaimana
tingkat pertumbuhan penduduk di negara Indonesia kita yang tercinta ini. Dan
apa yang bisa kita berikan kepada negara, ya hanya kepala-kepala baru yang
musti diurus hingga bisa menghasilkan kepala-kepala baru lagi dikemudian hari. Dan
semakin kesini masalah yang kan dihadapi hanyalah jumlah kalo gak padat. Itu aja
mulu ampe kiamat.
Di negara lain yang mempunyai
tingkat pertumbuhan penduduk yang gak se-rapid Indonesia, lebih banyak yang
bisa mereka berikan ke negara dan orang disekitarnya. Bagi mereka menikah
penting, tapi sepenting nomer 27, gak lebih penting dari nomer 1. Di negara
yang selalu sukses menambah jumlah kepala rata-rata 4 juta pertahun, demi apa
Indonesia mau maju. Semua akan ada negatif dan positif, tergantung darimana
kita memandang suatu masalah. Makan bukan jawaban atas ngantuk, dan tidur bukan
jawaban atas haus, padahal makan penting banget saat lapar dan tidur akan
sangat penting jika kita mencari solusi saat ngantuk. Betul tidak?!
Rasa aman untuk bisa “ngikut”
orang lain agaknya perlu dipertimbangkan lagi deh. Bukan hanya pembenaran
karena kita jomblo. Tapi menikah sepertinya bukan satu-satuny parameter
kesuksesan dalam hidup, setidaknya ada beberapa orang yang menganggap itu
penting. Pendapat akan benar saat diungkapkan oleh orang dalam jumlah besar,
lain lagi jika harus satu lawan satu. Kebenaran akan lebih beragam jika punya
niali pembanding yang sama, bukan satu lawan banyak.
Pembenaran. Atau jawaban. Yang jelas
butuh dipertimbangkan.
Masalahnya, mind set “ngikut “
orang ini sudah tertanam lebih dari 300 tahun. Sudah menjadi sebuah ide. Bagian
paling mendasar dari pola pikir orang-orang beberapa dekade terakhir, dan
sepertinya masih akan tetap lestari dan akan diwariskan untuk beberapa dekade
kedepan.
Aku bukan orang yang sudah bisa
hidup sendiri. Aku orang yang sadar sudah hampir membuang impian untuk
membahagiakan orang lain yang gak ikut ngejalanin hidupku. Aku orang yang masih
hidup di bawah limit orang lain yang nampak limitless. Aku orang yang sering
kali memikirkan apa yang dipikirkan orang lain tentang kita dan jalan hidup
kita meski kita tahu mereka tak berandil banyak di kehidupan kita di kemudian
hari. Aku orang yang melihat batas tertinggi yang seharusnya bisa dicapai dari tempat
dengan serba keterbatasan.
Terlepas dari kebebasan berbatas
itu, ada juga beberapa orang yang nyaman, setidaknya terlihat nyaman, hidup di
dalam keterbatasan. aku sudah tidak bicara soal materi lagi disni, bukan
keterbatasan materi tapi keterbatan berkreasi dan menikmati hidup. Dengan dalih
hemat kita rela membuang kesempatan untuk menikmati waktu yang terus berjalan. Dengan
dalih orang hidup harus punya materi yang spesifik dulu baru bisa disebut
mapan, dengan membuang identitas diri. Itu pilihan mereka. Toh nyatanya orang
yang dikekang sepanjang hidupnya akan mempunyai sudut pandang lain yang lebih
berwarna tentang kebebasan. Dan orang yang sudah bisa mencapai segalanya masih akhirnya
malah memilih bernyaman-nyaman dengan mebatasi ruang geraknya.
Lalu, sampai dimana batas
tertinggi kalian? Terlihatkah batas kalian? Sudahkah merasa cukup?